Halaman Utama Cari Uang Tempat Download
Google Yahoo Facebook Youtube Kompas Detik Okezone TVRI TVOne MetroTV SCTV RCTI Indosiar AnTV GlobalTV TPI TransTV Trans7

Sumarlinah, Karyawan sekaligus Juragan

Karyawan sekaligus juragan. Itulah peran Sumarlinah selama lebih dari 20 tahun. Hebatnya, kendati harus memikul tanggungjawab besar, ibu dua anak ini sukses menjalani karier gandanya. Hanya, untuk meraih keberhasilan itu, perjalanannya tak selalu mulus.
Lina, sapaan gaulnya, bertutur bahwa usaha yang dia rintis berawal dari iseng. Suatu ketika di awal tahun 1990-an, seorang temannya di Jakarta meminta dikirimi batik dari Pekalangon untuk dijual kembali. Saat itu jumlahnya hanya beberapa potong baju. Rupanya, batik tersebut cukup diminati.

Ordernya pun terus bertambah. Merasa mendapat angin, Lina mulai menawarkan barang dagangannya kepada beberapa pedagang di Yogyakarta. Hasil-nya pun tak sia-sia: laris manis. Omzet penjualan yang semula hanya ratusan ribu, membengkak hingga Rp 11 juta setiap kali mengirim barang.

Namun wanita pensiunan ini sempat ragu melanjutkan bisnis sampingannya. Maklum, Bank Rakyat Indonesia (BRI), tempatnya pernah meniti karier, melarang para karyawan bekerja di luar kantor. Tapi karena tergoda dengan keuntungan yang lumayan gede, profesi ganda itu dia lakoni secara diam-diam. “Untungnya setelah reformasi larangan itu dicabut. Jadi saya makin leluasa berbisnis,” tutur dia.

Untuk memasok permintaan dari luar kota, awalnya Lina hanya membeli barang dari pedagang di Pekalongan dan menjualnya kembali. Pasalnya, di kota santri itu batik merupakan industri rumahan. Lama-kelamaan Lina menyadari sistem berdagang seperti itu tak bakal bertahan lama. Maklum, persaingan di bisnis ini amatlah ketat.

Sejak 2005, Lina makin serius menekuni bisnis batiknya. Jika sebelumnya hanya sebagai penyalur, ia bertekad untuk memproduksi sendiri barang dagangannya. Untuk memudahkan rencananya, Lina mengajukan pinjaman senilai Rp 50 juta ke tempatnya berkarier. Setelah cair, sebagian dana tersebut ia gunakan untuk mendirikan toko di Jalan Gajah Mada Pekalongan. Dengan memiliki tempat penjualan sendiri, Lina merasa akan lebih mudah mengelola usahanya.

Selain itu, agar batiknya memiliki ciri tertentu, Lina mulai membuat desain baju dan motif sendiri. Awalnya pemilik Lina Collection ini juga tak terlalu pede bisa membuat desain menarik. Sebab, dia tak memiliki latarbelakang pendidikan maupun keluarga pembatik. Tapi dengan keyakinan tinggi, sembari terus belajar dari berbagai desain dan motif batik yang sudah ada, Lina memantapkan langkahnya.

Suatu ketika datang pesanan batik dari Maluku. Untuk memuaskan sang pelanggan, dia lantas mempelajari berbagai corak batik yang dominan di wilayah tersebut. Misalnya, orang Maluku lebih banyak menggunakan corak seperti pakis, pala, dan burung. Semen-tara itu, warna yang dia sukai cenderung alami, seperti warna hijau.

Dari sana, Lina pun mencoba membuat motif batik yang sesuai dengan karakter dan budaya Maluku. Hasil kreasinya itu kemudian diberikan kepada para perajin batik untuk diproduksi. Ternyata, sang pelanggan mengaku puas terhadap produk tersebut.

Agar kualitasnya terjaga, Lina mengangkat seorang manajer untuk memonitor produksinya. Sebab, ia tak punya banyak waktu karena masih harus mengurusi pekerjaan di kantor. Meski begitu, ia tetap mengontrol langsung proses produksi tersebut; terutama dalam memilih bahan baku. “Saya mengurus bisnis ini setelah pulang dari kantor,” ujar dia.
Anak ketujuh dari delapan bersaudara ini mengungkapkan, keberaniannya membuat produk sendiri ternyata direspon positif oleh masyarakat.Ter-bukti, permintaan dari beberapa daerah terus bertambah. Padahal jika dibandingkan dengan produk sejenis di Peka- longan, harga batik buatannya relatif lebih mahal.

Selain menjual batik tulis, Lina juga memproduksi batik cap. Harganya pun bervariasi. Satu lembar kain batik tulis dihargai Rp 900.000. Namun, untuk menjaga pangsa pasarnya tetap stabil, Lina lebih banyak membuat batik yang harganya kurang Rp 1 juta per lembar batik.

Wanita kelahiran Pekalongan, 57 tahun silam ini mengaku batiknya dijual seharga Rp 85.000-Rp 200.000 per potong. Dalam sebulan omzet penjualannya antara Rp 20 juta - Rp 70 juta. Untung bersihnya sekitar 30 persen. Selain mengandalkan penjualan lewat tokonya di Pekalongan, kini Lina juga telah membuka sebuah outlet di ITC Kuningan Jakarta Selatan.

Untuk memperluas pasar, Lina juga sering mengikuti berbagai ajang pameran. Apalagi sebagai salah satu mitra binaan PT Taspen, dia memperoleh berbagai kemudahan. Misalnya fasilitas dan akomodasi gratis selama berpameran. Setiap kali mengikuti pameran, Lina bilang, penjualannya bisa mencapai Rp 70 juta.

Lina menuturkan, perjalanan bisnisnya tak selalu mulus. Kegagalan demi kegagalan pernah ia alami. Misalnya, ketika menawarkan barang ke luar kota. Karena belum dikenal, tak jarang batik buatannya ditolak. “Tapi itu bagian dari usaha. Buktinya, dengan kerja keras akhirnya banyak pembeli yang datang,” kata dia.

Di masa tuanya, kini Lina bisa berbangga. Disamping hidupnya secara materi berkecukupan, dia juga bisa memberikan lapangan kerja kepada para tetangganya. Oh, iya, jumlah karyawan yang bekerja di tokonya sekarang sebanyak 13 orang; sementara perajin batik yang menjadi mitranya jauh lebih banyak lagi.

Taspen awali kehidupan Sumarlinah
Ssebagai ibu rumah tangga, Sumarlinah sadar bahwa pilihan hidupnya untuk bekerja di kantor sambil berdagang bakal banyak menyita waktu. Maka, setiap kali ada kesempatan, wanita yang 35 tahun mengabdi di BRI itu selalu berusaha menyelesaikan tugas-tugasnya.
Salah satu tugas yang tak pernah dia tinggalkan adalah melayani suami dan memonitor perkembangan putra-putrinya. “Saya sering nungguin mereka kalau belum sampai di rumah saat Magrib tiba,” ujar dia.

Alhamdulillah, semuanya bisa berjalan tanpa masalah. Keluarga utuh, pekerjaan kantor lancar, bisnis pun makin encer. Lina menuturkan, keberhasilan yang kini diraihnya tak lepas dari bantuan banyak pihak. Salah satunya PT Taspen. Di samping mendapatkan pinjaman lunak, sebagai mitra binaan, ia sering mendapatkan undangan untuk mengikuti berbagai pameran.

Momentum. Itulah yang membuat usahanya makin bertambah moncer. Soalnya, jika hanya mengandalkan penjualan di satu kota, pasar tidak akan pernah berkembang. Apalagi batik bukan lagi monopoli produk pribumi.
Saat pertama ikut pameran, Lina langsung mendapat pesanan besar. “Itu momen yang tak pernah terlupakan,” ujar wanita yang menjadi mitra Taspen sejak tiga tahun lalu itu. (Avanty Nurdiana/Kontan)

Sumber : Kompas.com

Postingan Yang Berhubungan



 
Kategori:

Posting Komentar